Jumat, 21 November 2014

                                      MENDUKUNG PEMERINTAHAN JOKOWI


Pertama, reformasi birokrasi pemerintahan yang belum menimbulkan efek positif terhadap pembangunan, karenJakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya pada tanggal 21 Agustus 2014 akhirnya memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla atas permohonan yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta. Bahkan, MK menyatakan tidak dapat mengabulkan satupun dari gugatan atau permohonan kubu Koalisi Merah Putih. Meskipun demikian, Koalisi Merah Putih melalui jumpa pers yang disampaikan Tantowi Yahya dan didampingi sejumlah tokoh sentral parpol pendukung Koalisi Merah Putih menyatakan dapat menerima keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, walaupun mereka menilai MK memutuskan tidak seperti keadilan yang mereka minta.

Sebelum MK memutuskan perkara gugatan hasil Pilpres 2014, setidaknya terdengar di tengah-tengah masyarakat adanya tiga skenario keputusan MK yaitu pertama, MK akan memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, walaupun hal ini dikhawatirkan mengguncangkan dunia politik di Indonesia karena akan mendapatkan resistensi yang meluas. Kedua, MK akan memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dengan tidak mengabulkan gugatan atau permohonan kubu Prabowo-Hatta. Ketiga, MK memutuskan akan menyelenggarakan Pilpres susulan di beberapa daerah atau TPS seperti yang dimohonkan kubu Prabowo-Hatta. Untungnya, MK memilih skenario yang kedua walaupun 'menyakitkan' kubu Prabowo-Hatta, namun tidak menimbulkan goncangan yang cukup berarti.

Akhir-akhir ini, semakin kencang suara berbagai pihak yang mengimbau atau meminta agar menghormati keputusan MK terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2014. Dalam perspektif konstitusi, keputusan MK tentang sengketa hasil Pemilu sudah final dan mengikat (binding). Ketidakpuasan atas keputusan MK tersebut adalah wajar dan sangat bisa dipahami. Namun, ketidakpuasan tersebut hendaknya diekspresikan secara tepat sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Kemenangan politik bukanlah segala-galanya, dan kekalahan dalam politik juga bukan kekalahan segalanya.

Ada baiknya jika pendukung Jokowi-Jusuf Kalla melakukan rekonsiliasi dengan pendukung Prabowo-Hatta, termasuk ada benarnya jika Jokowi-JK juga 'berekonsiliasi' dengan Prabowo-Hatta, walaupun diakui dalam jumpa pers Jokowi tanggal 21 Agustus 2014 malam hari bahwa dirinya dan JK tidak ada masalah dengan Prabowo-Hatta dan Prabowo-Hatta adalah sahabat mereka, sehingga kapanpun dapat dilakukan pertemuan. 

Publik memandang Jokowi sudah bukan waktunya lagi membuat opini publik bahwa tidak ada 'sesuatu' antara dirinya dengan Prabowo, karena ekses Pilpres 2014 dengan ditandai beragam fenomena mulai dari media partisan, fitnah politik yang sudah kebablasan sampai 'habis-habisan sang bandar' menjadikan pesta politik tersebut semakin mahal. Publik saat ini sangat mengharapkan tidak ada perselisihan atau tidak ada dendam kesumat antara Prabowo dengan Jokowi. Karena sekali lagi mungkin publik juga tidak senang atau mempunyai penilaian yang tidak baik dari kasus-kasus 'dendam elit' pasca Pilpres 2004 dan Pilpres 2009, di mana sampai saat ini belum ada komunikasi politik antara SBY dengan Megawati Soekarnoputri. 

Publik mengharapkan hal ini tidak terjadi antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Publik mengharapkan mereka saling berangkulan, bersalaman, sama-sama saling membantu untuk membangun Indonesia demi kesejahteraan rakyatnya. Kalau ini terjadi, maka kemungkinan besar selentingan atau rumors yang beredar di beberapa kalangan yang mengkhawatirkan pemerintahan baru ini akan berjalan 1 s.d 2 tahun saja akibat proses delegitimasi yang berkelanjutan tidak terjadi, karena sejatinya publik sangat tidak menginginkan kejatuhan Presiden Estrada di Filipina dan PM Thailand Yingluck Shinawatra terjadi di Indonesia.a reformasi birokrasi yang berhasil akan berdampak pada meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi. Karena logikanya reformasi birokrasi yang berjalan menimbulkan efisiensi, transparansi dan pencapaian tujuan secara jelas berdasarkan tupoksinya. Reformasi birokrasi juga belum mampu mengikis praktek KKN dan like and dislike, karena banyak posisi penting di birokrasi pemerintahan tidak dilakukan fit and proper test. Di samping itu, tidak berdasarkan merit system.

Kedua, segera merevisi ulang RAPBN 2015 yang disiapkan oleh pemerintahan sebelumnya. Hal itu karena dinilai akan menyisakan 'bom waktu' bagi pemerintahan Jokowi-JK antara lain anggaran kunjungan luar negeri eksekutif dan legislatif mencapai Rp 32 triliun jelas merupakan pemborosan. Output dan outcome bagi masyarakat tidak ada, kecuali menambah 'pengalaman pesiar' bagi mereka yang ditugaskan saja.

Ketiga, kepemimpinan Jokowi diharapkan melahirkan kebijakan yang mampu menekan pendapatan negara baik pajak maupun bukan pajak dalam APBN dan APBD dengan tidak membebani rakyat miskin, misalnya konsolidasi pembebasan lahan pertanian milik rakyat, konsolidasi tata ruang dan wilayah termasuk tata guna lahan.

Keempat, kesenjangan kemakmuran yang semakin melebar dari rasio 0,37 pada tahun 2009 menjadi 0,41 pada tahun 2013. Menurunkan kesenjangan kesempatan jauh lebih penting daripada menurunkan kesenjangan pengeluaran. Kesenjangan kesempatan tersebut adalah kesenjangan dalam mengakses pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Penciptaan pekerjaan di sektor formal bagi angkatan kerja berusia muda menjadi keharusan. Indonesia memasuki fase bonus demografi dan tenaga kerja muda dan produktif itu hanya bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi apabila mereka bekerja di sektor formal yang memberikan kepastian dan stabilitas sosial.

Kelima, belenggu impor pangan yang ditandai dengan nilai impor produk pertanian melonjak 346% atau 4 kali lipat selama periode 2003-2013, hal ini terjadi disebabkan karena lahan usaha tani menyusut sebanyak 5 juta hektar menjadi 26 juta hektar. Dalam periode 2003-2013, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga usaha petani. Kondisi ini diperparah dengan teknologi pertanian yang diterapkan di Indonesia tidak banyak berkembang.

Keenam, persaingan ekonomi global yang semakin mengeras, namun diakui atau tidak Indonesia masih mempunyai kerentanan ekonomi dan isu-isu yang menjadi penghambat investasi, sehingga investasi global masih terhambat oleh ekonomi biaya tinggi, akibat belum tuntasnya reformasi birokrasi di sektor ini. Hal-hal lain yang menyesakkan untuk segera diatasi seperti buruknya infrastruktur, perizinan, isu perpajakan dan perburuhan. Investasi yang masuk selama ini berhenti di portofolio sehingga tidak berdampak ke sektor riil dan penciptaan lapangan kerja.

Jadi, kita wajib mendukung dan membantu pemerintahan Jokowi-JK, jika kita tidak ingin bangsa ini menjadi 'budak' di persaingan global yang semakin mengeras di tahun 2015 dan seterusnya. 

*) Toas H adalah pemerhati masalah polkam. Tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar